Kamis, 23 Februari 2012

Makalah: Naskah Drama Cangkilung Karya Nazaruddin Azhar : Telaah Sosiologi Sastra


Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
            Jika mendengar kata copet, hal pertama yang kita lakukan adalah memeriksa apakah dompet, handphone, dan barang berharga lainnya itu aman atau tidak. Jika mendengar kata pejabat pemerintahan, maka yang terlintas dalam pikirkan kita adalah korupsi, mewah, enak, dan omong besar. Dan jika mendengar kata PSK (pelacur) maka yang kita pikirkan adalah wanita murahan, tak bermoral, HIV/AIDS, memalukan dan lain sebagainya.
            Dialah Nazaruddin Azhar yang mengangkat tema sosial kehidupan copet, PSK, dan pejabat pemerintahan dalam sebuah kesatuan cerita yang menarik untuk dipertontonkan. Naskah Drama berjudul Cangkilung ini merupakan salah satu karya Nazaruddin Azhar yang dipakai dalam Festival Drama Basa Sunda IX pada ± tahun 2006. Cangkilung adalah sejenis ulat yang hidup di dalam batang pohon kelapa atau kawung, hama yang terlahir dari telur bangbung yang nantinya akan jadi kupu-kupu ataupun bambung lagi. Cangkilung merupakan hama, namun memiliki peran yang sangat penting dalam siklus kehidupan yang ada di alam ini, tidak jauh berbeda dengan copet, pejabat dan PSK. Meskipun dua diantaranya dianggap sebagai “hama” yang paling meresahkan, namun mereka juga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan ini. Terkadang tidak semua pejabat berkelakuan baik dalam menjalankan tugas dan kehidupannya, begitu juga dengan copet maupun PSK, tidak semua dari mereka yang benar-benar berniat jahat terhadap orang lain, karena faktor ekonomilah mereka menjadi seseorang yang dianggap “sampah masyarakat”.
            Karya sastra pada dasarnya mempunyai tiga bentuk yaitu, prosa, puisi, dan drama. Masing-masing dari ketiganya mempunyai jenis yang sangat beragam. Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral, Foster (dalam Nurgiyantoro, 1970: 33-34) telah menegaskan, bahwa cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Naskah drama karya Nazaruddin Azhar ini menceritakan komunitas copet yang berasal dari bermacam-macam daerah, selain itu masih ada kehidupan seorang pejabat yang suka berbuat nakal dibelakang istrinya dan juga kewajibannya sebagai seorang pejabat pemerintah, dan juga para PSK yang berjuang untuk bertahan hidup. Sebuah karya apik bertemakan sosial ini dibuat dengan mengangkat kehidupan copet, PSK dan pejabat pemerintahan yang disatukan melalui unsur “cinta” bertepuk sebelah tangan pemimpin copet kepada seorang polwan bersuami dan juga kisah cinta pencopet dengan PSK.
            Menurut Marxisme, pada dasarnya manusia itu serakah, mempunyai kebutuhan tidak terbatas. Karena sumber-sumber bagi pemenuhan kebutuhan itu terbatas, terjadi persaingan dalam pemenuhan kebutuhan itu. Persaingan itu menjadikan hubungan antarakelompok sosial yang telah dikemukakan manjadi antagonistik. Karya sastra merupakan fakta kemanusian bukan fakta alamiah. Fakta alamiah cukup dipahami hanya sampai pada batas strukturnya, fakta sosial harus sampai pada batas artinya. Secara psikologis ada dua proses yang terarah pada pembangunan keseimbangan tersebut, yaitu proses asimilasi dan proses akomodasi, proses asimilasi adalah penyesuaian lingkungan eksternal kedalam skema pikiran manusia, sedangkan proses akomodasi adalah proses penyesuaian skema pikiran manusia dengan lingkungan sekitarnya (Hudayat : 1&2).
            Dalam hal ini penulis mempertanyakan tujuan Nazaruddin Azhar selaku penulis naskah drama Cangkilung, Apa yang ingin ia sampaikan melalui naskah drama berjudul Cangkilung ini? Bagaimanakah pandangan dunia akan kehidupan kompleks para copet, PSK dan pejabat yang disatukan dalam kisah cinta terlarang yang berada didalam karya Nazaruddin Azhar? Terhubung sejauh mana isi dan kenyataan yang ada dalam Naskah Drama Cangkilung?
            Untuk dapat membuka atau mencari persoalan kelas sosial yang berada dalam naskah drama Cangkilung, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan teori strukturalisme genetik Goldmann, yang menurutnya karya sastra merupakan fakta kemanusiaan bukan fakta alamiah. Fakta alamiah cukup dipahami hanya sampai pada batas strukturnya, fakta kemanusiaan harus sampai pada batas artinya (dalam modul penelitian sastra : 2). Tidak terlepas dari semua aspek ataupun teori-teori yang ada dan mendukung dalam penelitian ini.
            Dalam pengamatan penulis, karya Nazaruddin Azhar ini belum ada yang meneliti dalam bentuk makalah ataupun bentuk-bentuk penelitian lainnya dengan menggunakan teosri strukturalisme-genetik maupun telaah sosiologi sastra. Oleh karena itu penulis putuskan untuk menelitinya, dalam rangka meramaikan dunia penelitian sastra dan juga wawasan penulis.

Bab II
ISI
A.    Semiotik
      Sudah banyak persoalan sosial yang diangkat ke dalam bentuk novel, cerpen, dan juga naskah (drama). Seperti yang dilakukan oleh Nazaruddin Azhar, ia mencoba mengangkat kehidupan copet, PSK, dan juga pejabat dalam satu kesatuan cerita yang menarik. Terlebih inti dari pemersatunya ini adalah sebuah cinta pimpinan copet kepada seorang polwan yang ternyata sudah memiliki seorang suami dan juga kisah cinta copet terhadap PSK. Pilihan Nazaruddin Azhar terhadap permasalahan copet ini tidak semata-mata sebuah imajinasinya, ia mencoba menyampaikan permasalahan dibalik kehidupan copet, PSK dan pejabat yang ternyata saling berkaitan. Copet yang relatif memiliki hidup yang suka meminjam barang tanpa meminta ijin (mencopet), PSK yang relatif memliki kehidupan malam, dan pejabat atau pegawai pemerintahan yang memiliki hidup yang terjamin.
      Dalam sebuah karya sastra pasti terdapat tanda. Menurut Eco, tanda itu sendiri adalah segala sesuatu yang secara berarti dapat menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu sendiri tidak harus secara aktual ada pada waktu tanda tersebut mewakilinya. Dengan kata lain, menurut Eco (1979:7), semiotik sesungguhnya mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Karya sastra dapat dilihat dari dua segi; yakni sistem signifikasi, yang memungkinkan tanda tertentu mewakili sesuatu yang lain yang menyangkut aturan-aturan, dan sistem komunikasi, proses pemanfaatan sistem signifikasi itu untuk mencapai tujuan-tujuan praktis yang menyangkut proses (dalam Faruk, 1999:10). Dalam sebuah karya sastra pasti memiliki sebuah maksud (tanda) yang dibuat kabur oleh pengarang. Dengan demikian, dalam sebuah karya sastra sah-sah saja jika kita menggunakan unsur-unsur kehidupan untuk mewakili sebuah fakta yang dibuat tidak sejelas-jelasnya, yang dengan kata lain menyembunyikan makna aslinya dengan sebuah tanda. 
      Menurut Goldmann, strukturalisme-Genetik menganggap karya sastra sebagai semesta, tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner dan sebagi fakta kemanusian, karya sastra merupakan respon suatu subjek terhadap situasi disekitarnya, pembangunan usaha untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi-aspirasinya. Selain itu ia juga mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil usaha manusia atau subjek tertentu untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (dalam Faruk; 12&111-112).
B.     Sosiologi Sastra
      Menurut Ratna, dasar filosofis pendekatan sosilogis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memafaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (2009:60). Karya sastra dapat dikatakan tidak bisa lepas dari sebuah realitas kehidupan nyata. Cerita yang dibuat oleh seorang pengarang sekurang-kurangnya terinspirasi kehidupan nyata atau lingkungannya terlebih mengenai kelas sosial.
      Mengapa sebuah karya sastra memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan masyarakat adalah dikarenakan karya sastra tersebut hidup di masyarakat, meyerap segala aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. Yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. Selain itu mengandung tiga aspek yang dimana masyarakat jelas berkepentingan dengan aspek tersebut, yakni estetika, etika dan juga logika. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya (dalam Ratna: 332-333).
      Karya Nazaruddin Azhar ini dapat dikatakan memenuhi syarat untuk dapat diteliti dengan menggunakan teori sosiologi sastra (stukturalisme-genetik), karena di dalam naskah drama buatannya ini terdapat tiga kelas sosial yang dapat dipertentangkan, yakni komunitas copet, PSK dan juga pejabat. Dengan segela macam persoalaan yang sudah tidak asing lagi untuk kita lihat dan juga kita dengar.
a.      Hubungan Kelas Sosial Dalam Cangkilung
            Seperti yang telah dibahas diatas, Cangkilung adalah karya yang didalamnya mengangkat kehidupan komunitas copet, PSK dan pejabat pemerintahan. Cerita Cangkilung berawal dari ruang dan waktu yang realistiknya sudah terlihat sejak prolog dimulai, yaitu menggambarkan tempat tinggal atau markas para copet yang tergambar dalam kutipan di bawah ini;
Di buruan imah Sutawangsa. Éta imah nu témbong aya loténgan téh mangrupa wangunan heubeul nu témbokna geus karadak jeung sawareh lukutan. Hareupeun imah Sutawangsa aya tihang bandera. Di éta tempat (nu perenahna di sisi kota) aya dua imah. Sarua imah heubeul, ngan ni hiji deui mah taya lotengan. Ieu imah dicicingan ku wanoja nu ngaranna Saonah. (Azhar 2006:2)
           
            Sebuah tempat yang dianggap pengarang strategis dan cocok untuk kehidupan para copet berkumpul. Dapat kita lihat pada penggambaran rumah pimpinan copet yang memiliki dua lantai ini, satu rumah yang dalam kondisi tidak terawat atau mungkin memang tidak dirawat karena mereka tidak memiliki biaya untuk memperbaikinya, sehingga lumut pun dibiarkan saja menempel pada dinding rumah. Kita juga dapat melihat gambaran tempat pada percakapan yang diwakili oleh Barun salah satu tokoh copet dalam naskah drama ini pada kutipan berikut;
Barun: Nah. Kita jangan minder, dong. Tunjukan bahwa kita pun bagian dari kehidupan berwarga bernegara. Copet adalah bagian sah dari bangsa Indonesia. Jadi hayu utang tingkatkeun disiplin dina sagala hal. Copet hanya akan bekerja karena disiplin dan profesionalisme yang ajeg. Paham? (Azhar: 3)

            Sebuah kenyataan yang tak dapat kita pungkiri, bahawa copet dalam cerita ini adalah salah satu warga sah negara Indonesia, begitu juga dengan PSK, mereka semua adalah komunitas kecil bahkan besar, yang ada di dalam negri tercinta ini. Selain rumah yang digunakan untuk berkumpul dan juga latihan jurus-jurus copet baru, digambarkan juga rumah PSK dan tempat rapat yang akan digunakan untuk rapat yang dapat kita lihat pada kutipan dibawah ini;
Saréréa jempé, malah parindah ka nu poek basa ti imah Saonah kaciri aya nu  kaluar. Pa Gugup kaluar diiringkeun ku Saonah nu katémbong anyar dangdan.(Azhar:6)

Rukim: Dimana tempatna?
Nori: Di Hotel, dong. Masa rapat penting ditempat jiga kieu...
(Azhar:8)

            Gambaran tempat tinggal seorang bahkan beberapa PSK yang ditandai dengan keluar masuknya beberapa pria hidung belang dan kehidupan mereka yang terencana, dapat kita lihat dalam kutipan percakapan diatas. Selain tempat-tempat yang disebutkan diatas masih ada seting tempat lain dalam cerita ini, salah satunya adalah kantor polisi.
            Bukan hanya latar tempat yang disajikan oleh Nazaruddin Azhar dalan naskahnya ini, masih ada dari segi ceritanya yang pada dasarnya adalah cerita tentang kenyataan yang mungkin disuatu tempat terjadi. Tidak semua pencopet amatir, yang kita ketahui saat ini copet sudah berkembang. Selain cara kerjanya yang berkelompok, mereka juga mepunyai modus atau cara dalam mencopet (teknik mencopet), dan sebelum mempraktekannya pasti terlebih dahulu mereka uji coba dengan cara latihan. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini;
            Barun: Coba Rukim ka hareup.
            Rukim: (Maju) Siap.
            Barun: Coba praktekeun jurus Kopasus, bantuan ku manéh, Kun!
            Dikun: (Maju) Siap!
Barun: Kita akan mempraktekkan jurus Kopasus. Coba Sukon, naon ari hartina jurus Kopasus?
            Sukon: (Ti tempat baris) Kodok, Paut, Sina Ulah Soraan!
Barun: Bagus jadi kade, posisi curuk jeung jariji sing tartib. Cik sok Rukim...
Dikun lajag-lejeg nyeta-nyeta nu keur leumpang. Rukim nyopet dompet Dikun. Rapih pisan nepika Dikun teu ngarasaeun. (Azhar:3)

Barun: Sikap sempurna!
Narto+Somad: Siap grak!
Barun: Maraneh geus arapal jurus Polotikus?
Narto: Enggih... eh, siap laksanakan
Barun: Naon hartina jurus Politikus téh Somad?
Somad: Pokona mun Sulit Turih Ku Silet!
Barun: Bagus. Coba, sok!
Somad ngusiwel nyokot silet tina pesakna. Narto api-api leumpang, Somad nyedekkeun, terus sakilat nyilet pesak calana Narto. Dompetna beunang. Tapi Narto muringis, bari nyabak bujurna. (Azhar:4)

            Walaupun hanya seorang copet mereka juga membutuhkan latihan agar usaha mereka dalam mencopet tidak diketauhi sang pemiliki dompet atau barang berharga lainya. Copet yang kita lihat saat ini (jika beruntung bertemu dengan komplotan copet), mereka juga memiliki cara atau jurus untuk dapat mengambil barang berharga milik kita. Seperti modus “Muntah”, satu copet yang berperan sebagai orang yang mabuk kendaraan duduk disamping atau depan kita, satu orang pengeksekusi duduk di depan kita atau pojokan pintu keluar angkot atau bis. Selain itu ada juga yang memanfaatkan keramaian kereta, pasar dan tempat-tempat tak terduga lainnya, bahkan ada juga yang terang-terangan menodongkan senjata tajam/api ke kita.
            Meskipun dianggap “sampah masyarakat” tetapi mereka juga memiliki prinsip dan disiplin yang baik, selain itu mereka (copet dan PSK) juga selalu mendiskusikan ataupun merencanakan sesuatu dengan baik untuk kalangannya. Mereka mengikuti arus perkembangan negara bahkan dunia agar keberadaan mereka tidak tergerus oleh zaman yang terus berkembang. Hal itu dapat kita lihat (baca) pada kutipan berikut;
Barun: Bagus, minggu hareup urang bakal diajar jurus anyar, nyaeta jurus Begadang Dua. Hartina Berani... Gagah... Menghadang Dunia Dan Amerika. Ini sesuai dengan spirit globalisasi. Amerika harus kita kalahkan. Nah, sekarang, kita nyanyikan lagu Mars Copet Reformis.
Mars Copet Reformis
Kita adalah generasi berbakat
Bakat ku butuh, bakat ku susah
Susah senang kudu dapat rupiah
Tanpa rupiah hidup lebih susah
            Jujur dong kita memang pencopet
            Bukan pencopet yang ngaku pejabat
            Yang kami copet bukan orang sembarangan
            Yang terlihat melarat kami lewatkan
Sehari paling kami dapt lima dompet
Isinya kadang-kadang bon tagihan
Beda dengan mereka yang punya jabatan
Mencopet banyak sampai miiyaran
Mencopet banyak sampai.... trilyunaaaaannn
(Azhar:4-5)

Onah sapakaranca ngalagu:
Urang ulah cicingeun
Kudu ningkatkeun kwalitas
Sangkan geol beuki bedas
Biar gitek makin mantep
Geol... geol-geol-geol. Aw!
Gitek... gitek-gitek-gitek. Yes! (Azhar:8)


            Bisa kita lihat dari kutipan terbut, bukan hanya untuk menyemangati komunitas masing-masing, secara jelas mereka mengkritik pemerintah (pejabat pemerintah) yang memiliki orang-orang dan sistem pemerintahan yang tidak disiplin. Ibaratnya mereka ngupahan diri sorangan, karena kecemburuan mereka atas ketidakadilan yang terjadi selama ini. Seperti kasus copet yang mencopet, jika tertangkap mereka bisa mendapatkan hukuman lebih dari 1-2 tahun berbeda dengan pejabat pemerintah yang korupsi hingga miliaran rupiah, mereka dengan santai masih bisa berkeliaran bebas tanpa kekhawatiran berlebih untuk dihukum. Sedangkan PSK yang berada diantara mereka (copet dan pejabat) hanyalah korban dari kemarahan/pelampiasan. Disaat-saat tertentu mereka melindungi kaum copet yang notabenenya sama seperti mereka orang yang dikucilkan/rendahan, dilain waktu, mereka (PSK) memanfaatkan kekuasaan dan uang para pejabat untuk menghidupi dirinya. Sebuah kondisi yang serba salah untuk mereka (PSK dan copet). Sedangkan untuk para pejabat, mereka memanfaatkan copet dan PSK untuk dijadikan kambing hitam dan juga kesenangannya.
            Seperti yang dikatakan Marxisme, manusia pada dasarnya serakah, mempunyai kebutuhan tidak terbatas. Karena sumber-sumber bagi pemenuhan kebutuhan itu terbatas, terjadi perasingan dalam usaha pemenuhan kebutuhan itu. Persaingan itu menjadikan hubungan antarkelompok sosial yang telah dikemukakan menjadi antagonistik. Di satu pihak, suatu kelompok berusaha menguasai alat-alat dan sumber-sumber produksi yang ada, di lain pihak kelompok lain berusaha merebut alat-alat dan sumber-sumber produksi itu dari kelompok lain yang menguasainya (dalam Hudayat:1). Sadar tidak sadar antarkelompok ini pun saling mengisi meski dalam kehidupannya saling bertentangan.
            Dalam cerita Cangkilung, terdapat sebuah persoalan yang secara logika mungkin terjadi mungkin juga tidak, yakni kisah pimpinan copet yang bernama Sutawangsa yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang polwan bernama Nani. Kehidupan yang tadinya normal menjadi hari-hari galau untuknya, begitu banyak puisi yang ia ciptakan untuk sang pujaan hati. Seperti yang kita lihat pada kutipan berikut;
           
            Puisi Ti Parapatan
           
            Anjeun téh papatong nu eunteup sekedapan
            Dina haté nu mangpung ku katiga sarintakan
            Dimana ari anjeun? Basa hujan ngagalantangkeun sungkawana,
            Basa kilat tingbarasat maragatkeun
            Kasedihna na sesebitan langit panghujungna...
            Duh, jungjunan
Taya sungkawa nu leuwih rosa tibatan cinta nu can kasungsi muarana. Sedeng dina huluwotan pikir, katineung terus ngagulidag ngamalirkeun katuna jiwa...
Suta: (merekode: menta saputangan)
Mamo: (mikeun saputangan tina sakuna)
Suta : (bari nyusutan cipnon) teruskeun, Mo...
Mamo: (neruskeun maca puisina):
Dimana ari anjeun basa lalakon ngembat
Di jagat nu matengkeun urat-urat katresna?
Kuring lir sandekala nu taya jirimna
Tapi bisa ngarasakeun kumaha ngantengna hirup
Tina dongeng saban dongeng...
(Azhar:10-11)
           
            Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa seorang pencopet pun memiliki hati, mereka dapat dengan mudah menjadi lunak hatinya karena cinta yang datang pada kehidupannya, meskipun cinta yang berakhir dengan keadaan cinta bertepuk sebelah tangan. Dan juga kisah cinta seorang copet dengan PSK, meskipun pekerjaan mereka dianggap hina, juga salah satunya adalah “bekas”, namun mereka dapat saling mengisi. Sebuah kehidupan yang wajar untuk terjadi, dimanapun dan kapanpun. Meskipun kecil kemungkinannya pengarang berusaha memberi gambaran dan pendukung cerita yang bisa ia andalkan. Sebuah makna yang tersirat dalam percakapan dan prolog cerita.
C.  Tinjauan Strukturalisme-Genetik
a.    Cangkilung dan Struktur Sosial Zamannya
            Waktu yang dipergunakan dalam cerita Cangkilung adalah ±3-4 tahun yang lalu, yang hingga detik ini pun masih sama. Kehidupan para copet yang semakin banyak, dan memiliki trik yang update dalam mencopet, PSK dan pejabat korup yang semakin berserakan. Pengarang membuat naskah ini bukan semata-mata untuk hiburan, akan tetapi untuk membukakan mata kita dan sedikitnya untuk membantu menghentikan atau menyadarkan mereka (copet, PSK, dan pejabat nakal).
            Mencari genesis Cangkilung di dalam struktur sosial zamannya berarti mencari hubungan antar kelompok-kelompok sosial yang membangun struktur itu. Kenyataan itu menyiratkan pula keharusan bahwa usaha pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi kelompok sosial pengarang di antara kelompok-kelompok sosial yang ada dan yang berhubungan denganya.
            Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental kolektif yang implisit yang tidak semua individu anggota kelas sosial pemiliknya dan dapat menyadarinya. Dalam strukturalisme-genetik, pandangan dunia merupakan skema ideologi yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang mengekspresikannya. Selain itu dalam strukturalisme-genetik, hubungan antara karya sastra dengan struktur pada dasarnya tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak langsung melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis (Hudayat, 3).
b.        Cangkilung dan Fakta Sosial
            Sebuah drama/cerita dibuat tidak semata-mata untuk hiburan dan juga dibuat berdasakan imajinasi pengarang saja. Ada juga yang menggunakan sebuah kenyataan hidup dalam membuat sebuah cerita. Walau pada dasarnya sama saja, cerita itu dibumbui dengan imajinasi pengarang untuk menutupi ataupun membuat cerita lebih menarik, bahkan mungkin saja cerita itu dibuat lebay. Menurut strukturalisme genentik, karya sastra merupakan fakta kemanusiaan atau dapat disebut dengan fakta sosial. Faruk (2010: 57) menyebutkan bahwa fakta kemanusiaan merupakan dasar ontologis dari strukturalisme genetik. Sedangkan fakta tersebut adalah segala hasil aktivitas dan perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berupa aktivitas sosial, politik, kultural, dll.
             Dalam cerita drama Cangkilung karya Nazaruddin Azhar ini merupakan karya sastra yang isinya menceritakan kehidupan copet, psk, pejabat yangterkadang selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum. Kita mungkin mengenal seorang copet itu adalah pemalas, orang yang tidak kreatif, kerjanya hanya mengambil barang orang lain saja, klepto dan masih banyak lagi. Namun pada nyatanya, mereka juga memiliki kehidupan yang sama dengan kita semua. Mereka memiliki mimpi dan pengharapan untuk dapat hidup dengan cara yang lebih baik, bukan mau mereka menjadi seorang pencopet, terkadang keadaanlah yang membuat mereka menjadi seperti itu. Mereka juga memiliki sebuah harga diri yang memperlihatkan bahwa mereka juga bangga menjadi warga negara Indonesia, meskipun di dalamnya mereka hanya menjadi seorang copet. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut;
Barun: Nah. Kita jangan minder, dong. Tunjukan bahwa kita pun bagian dari kehidupan berwarga bernegara. Copet adalah bagian sah dari bangsa Indonesia. Jadi hayu utang tingkatkeun disiplin dina sagala hal. Copet hanya akan bekerja karena disiplin dan profesionalisme yang ajeg. Paham? (Azhar: 3)
Mars Copet Reformis
Kita adalah generasi berbakat
Bakat ku butuh, bakat ku susah
Susah senang kudu dapat rupiah
Tanpa rupiah hidup lebih susah
            Jujur dong kita memang pencopet
            Bukan pencopet yang ngaku pejabat
            Yang kami copet bukan orang sembarangan
            Yang terlihat melarat kami lewatkan
Sehari paling kami dapt lima dompet
Isinya kadang-kadang bon tagihan
Beda dengan mereka yang punya jabatan
Mencopet banyak sampai miiyaran
Mencopet banyak sampai.... trilyunaaaaannn
(Azhar:4-5)

            Seperti yang pernah penulis bahas diatas, copet dalam cerita ini merupakan salah satu warga sah Indonesia, dan mereka pun tidak tanggung-tanggung dalam mengeritik pemerintahan, seolah tak ada perasaan takut untuk dihukumpun. Secara mental mungkin mereka sudah kebal dengan semua masalah ataupun resiko yang akan mereka dapatkan. Merekapun dianggap sebagai sekelompok orang yang selalu bersikap arogan dan kasar, mereka dapat melakukan sebuah tindakan berbahaya jika mereka merasa terancam dalam setiap aksi ataupun kesehariannya.
            Layaknya insan manusia lainnya, copet juga merasakan yang namanya jatuh cinta, yang menandakan sekasar apapun mereka namun di dalam dirinya mereka memiliki sebuah kehangatan. Mereka dapat menjadi lemah karena hal ini, dan mereka pun dapat berubah karena perasaan ini. Namun tidak jarang diantaranya dianggap salah mencintai seseorang, seperti yang dapat kita lihat dalam kutipan berikut;

            Mamo  : Muhun alaeun Bos, ngarah kapimilik salamina...
           Suta       :Tah heueuh eta nu keur dipikiran téh... Kumaha carana sangkan manéhna jadi milik kuring. Sahenteuna meureun Mo, manehna pulisi, ari kuring...
           Mamo   : Klop pisan puguh, Bos, pulisi ngengingkeun copet... aeh.. punten, maksad téh pulisi ngéngingkeun Bos... cop...
           Suta       : Geus! Geus! Kuring memang copet, Mo. Purnawirawan copet. Sedeng manehna pulisi. Naja salah mun kuring bogoh ka manehna? Cinta teh (batuk) hiji kakuatan nu bisa nembus langit katujuh... cinta teh (batuk) hiji kasadaran nu bisa meruhkeun bangbaluh.. cinta teh hiji kanyataan nu hamo bisa dipungpang, hamo bisa dihalangan najan ku gunung karang nu ngajungkiring nyundul langit. Cinta teh... (ngahuleung) Mo, kuring kudu nulis deui puisi, nu cikeneh kudu gancang dituliskeun... kudu gancang dikotretkeun...

                       Dalam kutipan memperlihatkan bahwa seorang copet tidak begitu cocok dengan seorang polisi, meskupun Mamo mengatakannya dengan cara halus dapat memperlihatkan bahwa maksudnya adalah ingin membuat Suta untuk menyerah saja. Namun apa daya, perasaan cinta memang tak dapat kita tolak begitu saja, dan itu juga menandakan hingga saat ini dalam memilih pasangan hidup kita harus memastikan bibit, bebet, bobotnya, yang tentunya dari kelas sosial yang sama (dalam artian seperti menak dengan menak, cacah dengan cacah), memang sesuatu yang tak dapat kita pungkiri, meskipun hal itu sudah tidak terlalu diperhatikan pada abad 21 ini.
                       Lain halnya dengan pejabat pemerintah, untuk urusan pasangan hidup dan hal lainnya, boleh dikatakan mereka tidak begitu khawatir bahkan beberapa diantara mereka bersikap seenaknya. Karena kurang lebihnya mereka memiliki pola pemikiran yang santai (dalam artian, dikarenakan mereka sudah memiliki pekerjaan tetap dan terjamin) membuat mereka dengan mudah bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, 6 dari 10 orangtua akan lebih menyukai mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetap untuk pasangan anak mereka, namun tak jarang juga yang memilih mereka yang memiliki usaha sendiri (yang dianggap cukup sukses). Hal inilah yang terkadang membuat para pekerja pemerintahan memiliki sifat sombong ataupun lupa diri, hingga tak jarang dari mereka melakukan korupsi untuk mendapat penghidupan yang lebih, dan juga dengan mudah mereka menyebutkan kekuasaan (pekerjaan) mereka, seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut;
          
                       Suta                 : kuring... eta saha isuk-isuk keketrok ka imah baturr?
                       Pa Gugup        : Kur.. Kurung.. aeh, kurang... aeh (keuheul sorangan) kuring! Calo anggota legislatif, di dinya keur naon isuk-isuk ngingintip batur? (Azhar; 20)
                    
                     Pa Gugup : kamu nyidir, ya? (tanggah ka lebah Suta bari nulak cangkéng) kamu jangan sindir sampir ya? Ineu nasih tidur, jadi belum bisa membuka jendela. Kamu jangan macam-macam. Saya ini ca.. calon anggota legislatif dari Partai Datang Bulan! (Azhar; 20)

                     Suta                   : Calon anggota dewan?
                     Pa Gugup         :Calon anggota dewan! Calon walikota! Calon pejabat! Lihatlah nanti bila pilkada dilaksanakan, saya pasti menang!
                     Suta                   : jadi anjeun téh polotikus?
                     Pa Gugup         : politikus! Kamu berani? Turun kalau berani sama calon pejabat! (Azhar; 20)

Pada kutipan diatas dapat kita lihat sikap salah satu pejabat pemerintah yang bisanya mengandalkan jabatan sebagai tameng mereka. Dari caranya berbicara kita dapat melihat bahwa Pa Gugup ini hanya memiliki fisik yang cukup tinggi saja, namun dalam hal pemikiran dan juga tata kramanya sebagai seorang pejabat pemerintah disini adalah 0%. Sebagai seorang yang berpendidikan dan juga memiliki pekerjaan yang baik, seharusnya kita memiliki pola pikir dan tata krama yang baik, terlebih jika kita ini barulah seorang calon orang penting.
Lalu apa yang terjadi dengan PSK? Mereka yang dalam kehidupan sehari-hari selalu merasakan perasaan serba salah dalam bertindak, baik dalam berpakaian, bergaul, berbicara, beribadah dsb. Ruang yang mereka miliki terkadang atau bahkan terbatas, membuat mereka berada diposisi yang dirugikan. Seorang PSK yang hidup diantara dua kehidupan yang berbeda menuntut mereka untuk memiliki pemikiran yang lebih tajam, terutama dalam mengambil keputusan penting.
Fakta sosial yang ada dalam cerita Cangkilung ini tidaklah mengada-ngada, di dalam sebuah kehidupan yang selalu dilihat dengan sebelah mata nyatanya memiliki sisi kehidupan yang sebenarnya bisa dikatakan rapuh namun juga sebuah kekuatan. Dimana sesungguhnya mereka (copet&PSK) menginginkan sebuah kehidupan yang jauh lebih baik, yang mereka awali dengan berrumahtangga, menjadi seorang sastrawan dll. Hal inilah yang juga terjadi dikehidupan nyata, mereka yang dianggap sebelah mata ini sesunggunhnya selalu berusaha untuk keluar dari kehidupan yang tak pasti dan menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan mereka yang mengaku pejabat pemerintah dalam cerita ini diceritakan dalam dua gambaran yaitu, Pa Gugup yang selalu berbuat “nakal” dan Nani istri Pa Gugup yang memiliki sikap yang bijaksana dan jujur yang pada intinya tidak semua pejabat pemerintahan juga jelek dalam memanfaatkan pekerjaannya.
c.       Cangkilung dalam Subjek Kolektif
            Semua manusia berusaha membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya dengan melakukan berbagai tindakan. Strukturalisme genetik membedakan tindakan individual dengan tindakan kolektif. Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial. Tindakan kolektif yang besar tidak hanya terarah untuk memenuhi kebutuhan kolektif tertentu, melainkan dapat menyebabkan terjadinya  perubahan dalam sejarah sosial secara keseluruhan, bahkan dapat pula berpengaruh luas, melampaui batas sosial yang darinya tindakan berasal. Yang menurut strukturalisme-genetik, subjek dan tindakan kolektif yang besar tersebut adalah kelas sosial dalam pengertian Marxis yang sudaha dikemukakan, bukan kelompok sosial lainn dalam pengertian lain (Hudayat:2).
             Kelas sosial yang tergambar dalam Cangkilung adalah kelas sosial pekerjaan yang sudah secara jelas kita lihat dalam penggambaran karakter maupun lingkungannya yaitu copet, PSK, dan pejabat pemerintah. Walaupun setting tempat yang digunakan dalam cerita ini dibuat sesederhana mungkin, namun dalam penggambaran tokoh dan cerita sudah mewakili subjek kolektif yang ada didalamnya.
d.    Cangkilung dalam Pandangan Dunia
            Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental kolektif yang implisit yang tidak semua individu anggota kelas sosial pemiliknya dan dapat menyadarinya. Dalam strukturalisme-genetik, pandangan dunia merupakan skema ideologi yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang mengekspresikannya. Selain itu dalam strukturalisme-genetik, hubungan antara karya sastra dengan struktur pada dasarnya tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak langsung melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis (Hudayat, 3). Adapun yang dimaksud dengan pandangan dunia itu sendiri (Goldman dalam Faruk, 2010: 65) tidak lain daripada kompleks dan menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang memepertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.
            Pandangan dunia yang ada dalam naskah drama Cangkilung dapat kita lihat pada bagan berikut;
Pandangan Dunia
Copet
Pejabat
PSK
Gagasan
Copet yang memiliki bakat dalam sastra, komunitas yang tersistem, copet yang mempunyai rasa pada seorang polwan, hubungan “intim” copet dan PSK.
Pejabat korup dan  polwan bijaksana. 
“Polos”, terencana.
Aspirasi
Suka mengkritik melalui candaan/sindiran kata-kata maupun lagu, sedikit rapuh dalam urusan perasaan, dan berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui sastra maupun cara lainnya.
Bicara seenaknya, sombong, suka pamer jabatan, dan  suka “main wanita”.
“murahan” namun “elegan”, memiliki mimpi untuk terbebas dari dunia pelacuran, memiliki hubungan “intim” dengan copet.
Kesadaran
Sebagai seorang copet mereka sadar diri, mereka tahu posisi mereka disini sebagai apa, yang mereka lakukan hanya bisa mengkritik melalu Mars Copet dan juga candaan mereka. Selain itu mereka juga memiliki pengharapan hidup yang lebih baik. Satu dari sekian copet (Sutawangsa) yang memiliki bakat dalam membuat puisi namun terhalang status sosial untuk dapat mengungkapkan perasaan pada orang yang disukainya.
Pa Gugup yang digambarkan adalah seorang pejabat yang suka “main wanita” dan suka pamer jabatan, yang sesungguhnya baru menjadi calon legislatif namun masih seorang pegawai negri sipil dan memiliki istri seorang polwan bernama Nani, yang disukai oleh Suta.
Mereka cenderung  tidak berani untuk  memimpikan seorang pria mampan(status sosial yang baik) untuk menjadi pendamping hidupnya, mereka hanya memimpikan seorang pria yang dapat menerima kondisi mereka apa adanya. Yang pada akhirnya mereka (copet dan PSK) yang sebelumnya memilik hubungan khusus merencanakan untuk menikah.

             Pada dasarnya PSK, pejabat dan copet ingin memiliki kehidupan yang lebih baik, namun mereka memiliki cara yang berbeda-beda dalam meraihnya. Dan tidak semua copet selalu “jelek”. Dalam drama ini, terdapat seorang copet yang mempunyai bakat dalam membuat karya sastra (puisi), hingga akhirnya bakatnya itu mendapat sebuah penghargaan yang dapat ia gunakan untuk memperbaiki hidupnya dan juga hidup anak buahnya. 

Bab III
Penutup
A.    Kesimpulan
            Seperti yang telah kita ketahui, bagaimana kehiduan copet, PSK dan pejabat pemerintah yang digambarkan oleh Nazaruddin Azhar adalah cerminan dari dunia nyata. Pastilah kita tidak asing lagi dengan kelas sosial ini, tak jarang dari kita melihat atau bertemu dengan copet, bahkan terkadang kita menjadi sasaran mereka. Tak jarang juga suami-suami, kekasih bahkan anak remaja tergoda rayuan dan juga memang tertarik pada pekerja seks komersial ini, bahkan mungkin para kaum hawa yang terjebak menjadi PSK, dan tak jarang juga suami atau yang tidak kita kenal bahkan orang yang kita kenal berpotensi melakukan korupsi.
            Cangkilung menceritakan bagaimana para copet dan PSK berusaha bertahan di era globalisasi, seperti yang telah kita lihat dan kita pelajari dari cerita ini. Dari isi cerita dapat kita lihat dari beberapa percakapan pembuka (copet) menandakan bahawa sejahat apa pun, mereka hanyalah sekumpulan pria dewasa yang mencoba peruntungan untuk mampu bersaing dengan semangat yang ada. Mereka tidak menghilangkan prinsip kecopetan yang mereka miliki, yaitu dengan tidak mencopet seorang pelajar dan orang-orang yang terlihat susah. Begitu pula PSK, secara penglihatan mata kita mereka seperti yang menikmati, cukup 1-2 jam saja sudah bisa mendapatkan uang jutaan rupiah, tapi pada nyatanya banyak PSK yang tidak menikmati pekerjaannya ini, mereka merasa tidak berdaya untuk keluar dari pekerjaan ini, namun karena keadaan ekonomi keluarga dan lingkungan menyebabkan mereka bertahan dengan pekerjaannya ini. Oleh kerena itu mereka menghidarinya dengan cara hanya melayani tamu yang sekiranya bukan tamu sembarangan atau bahkan berusaha untuk tidak melakukan service. Selain itu  mereka juga mengharapkan mendapat suami yang baik. Berbeda dengan seorang pejabat pemerintah, banyak diantaranya awalnya tidak memiliki maksud untuk melakukan korupsi namun karena faktor lingkungan membuat mereka melakukannya. Kebiasaan hidup mewah menjadikan mereka selalu menginginkan lebih, sehingga pada akhirnya mereka melakukan korupsi. Korupsi pada dasarnya tidak hanya dilakukan oleh satu orang tak jarang mereka bekerja sama untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu faktor orangtua, istri, suami, anak, sanak saudara, teman dan orang-orang disekitar kita penting untuk saling mengingatkan dan mendukung untuk meninggalkan kebiasaan yang tidak baik ini. Sesuatu hal besar bermula dari sesuatu hal kecil yang baik buruknya ditentukan oleh kita sendiri.
            Penulis menyadari bahwa makalahnya ini masih belum sempurna, masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan maupun pengetikannya. Penulis menyarankan makalah ini untuk ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih mendalam dan lebih lengkap, baik berupa penyempurnaan makalah, maupun penelitian yang berupa skripsi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. 

Daftar Pustaka
Faruk,
            1999. Hilangnya Pesona Dunia (Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial. Cetakan pertama. Yogyakarta. PT. Tarawang
Damono, Sapardi Djoko
            1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ratna, Nyoman Kutha
            2009. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Cetakan ke-9. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azhar, Nazaruddin
            2004. CangkilungPabukon LaNGARI. Bandung. 
nb: makalah ini memang dapat dikatakan belum cukup/bahkan tidak sempurna dikarenaka waktu penelitian yang saya miliki tidak banyak, namun makalah ini akan sangat membantu bagi siapa pun (walau hanya sedikit). :)

1 komentar: